Showing posts with label hukum pernikahan. Show all posts
Showing posts with label hukum pernikahan. Show all posts

Saturday, March 26, 2016

HAK IJBAR DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREMPUAN



Pendahuluan
Agenda untuk menafsir ulang atas ajaran agama yang berimplikasi pada ketidak adilan gender, masih terus diupayakan oleh para pejuang gender main stream. Hal ini terus dilakukan karena diraskan bahwa munculnya ketidak adilan gender di antaranya lebih disebabkan atas tafsiran beberapa ajaran agama yang dipenuhi oleh subjektivitas dan hegemoni lakilaki yang saat itu merupakan mayoritas yang eksis di ranah publik dan diskursus keilmuan, sehingga dipandang sebagai pemegang otoritas tafsir agama. Tulisan sederhana ini akan berupaya untuk ikut andil dalam upaya membaca kembali ajaran fiqih munakahat mengenai konsep ijbar. Adapun mengapa persoalan ini dimasukkan dalam studi analisis gender, adalah dikarenakan ternyata prinsip ijbar telah melahirkan suatu ketidak adilan yang berlapis-lapis bagi perempuan dikarenakan kemunculun prinsip ini telah melahirkan praktek kawin usia belia/pernikahan dini bagi perempuan, yang berimplikasi terrenggutnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, ancaman gangguan kesehatan reproduksi perempuan, disamping pula munculnya beban kerja/burden akibat bertumpuknya pekerjaan sektor domestik.

Prinsip Ijbar dalam Wacana Fiqih
Ijbar dalam wacana fiqih adalah sebuah keadaan yang berarti kewenangan seorang wali nikah, dalam hal ini dikhususkan bagi ayah dan kakek, untuk menikahkah anak gadisnya tanpa diperlukan adanya persetujuan/konfirmasi dari anak tersebut. (Al Imam Ishaq An Naisaburi, Al Muhazzab, Vol II:3). Bahkan Ibnu Hazm menyatakan bahwa anak tersebut tidak memiliki hak opsional(khiyar) ketika ia sampai pada usia baligh, terkait keberlangsungan pernikahannya tersebut. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Vol. IX:458). Adapun dasar normatif sebagai dasar hukum bahwa ayah memiliki otoritas mutlak dalam "memaksa" anak gadisnya untuk menikah adalah Hadits bersumber dari Ibnu Abbas yang berbunyi :

الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأمرها
Artinya " Janda itu lebih berhak(menentukan pilihan) untuk dirinya, sedangkan gadis dimintai pendapatnya (terkait pernikahannya)

Dasar normatif lain adalah Hadits  yang bersumber dari Abu Hurairah yang berbunyi:
لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن
Dalam hal perkawinan, janda itu dimintai pendapatnya, sedangkan gadis dimintai izinnya" (HR. Muslim Hadits No. 1419)

Dari kedua teks yang dikutip di atas, ternyata tidak ditemukan redaksi yang secara eksplisit memberi pengertian pemaksaan kehendak wali nikah terhadap perkawinan anak gadisnya. Bahkan, malah memunculkan pertanyaan, berdsarkan petunjuk, indikator dari manakah hingga mengantarkan pada pemahaman yang mengerucut pada formula ijbar bagi anak  perempuan yang berstatus gadis.

Tidaklah tertutup kemungkinan bahwa perkembangan suatu pemikiran yang akhirnya mapan, establish sebagai bahasa yang umum dan berkembang, populer adalah tidak bisa dilepaskan dari hegemoni kekuasaan yang membentuknya, dan kebetulan, dari bukti-bukti karya ilmiah klasik, penguasa diskursus Islam, dan hukum secara sempit, ketika itu adalah kebetulan, hampir semuanya laki-laki. Sehingga wajar, bila konsep yang lahirpun banyak merupakan cerminan dari hegemoni tersebut.

Di sisi lain, hak yang diberikan oleh syariat atas seorang wali adalah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap sebagian hal yang mibah untuk mencapai kemaslahatan yang sudah jelas terraih.Mereka tidak serta merta berhak melakukan pemaksaan kehendak, yang tentunya lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang tidak diinginkan bersama, yaitu kelua,rga yang penuh pemenjaraan dan penindasan.

Sekarang, bagaimana dampak prinsip ijbar yang diintroduksikan oleh fiqih tersebut dalam realitas sosial? Data dari hasil penelitian Indraswari mengenai kawin muda dan aborsi menunjukkan bahwa dari 25 responden, 18 di antaranya (72%) menyatakan bahwa alasan mengapa mengapa mereka melakukan kawin muda, adalah dikarenakan dipaksa orang tua untuk menikah, dalam arti bahwa keputusan untuk kawin atau tidak kawin relatif sedikit sekali melibatkan responden perempuan sebagai pelaku langsung. (Indraswari, Fenomena Kwin Muda dan Aborsi, dalam Syafiq hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan, hlm. 142)