Hadits-Hadits Kisah Isra’ Mi’raj
Nabi Muhammad SAW
1.
Qatadah: Telah
mengisahi kami Anas bin Malik, dari Malik bin Sha’sha’ah ra, ia telah berkata:
Telah bersabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Ketika aku di al-Bait (yaitu
Baitullah atau Ka’bah) antara tidur dan jaga”, kemudian beliau menyebutkan
tentang seorang lelaki di antara dua orang lelaki. “Lalu didatangkan kepadaku
bejana dari emas yang dipenuhi dengan kebijaksanaan dan keimanan. Kemudian aku
dibedah dari tenggorokan hingga perut bagian bawah. Lalu perutku dibasuh dengan
Air Zam Zam, kemudian diisi dengan kebijaksanaan (hikmah) dan keimanan. Dan
didatangkan kepadaku binatang putih yang lebih kecil dari kuda dan lebih besar
dari baghal (peranakan kuda dan keledai), yaitu Buraq. HR al-Bukhari (3207).
2.
Anas bin Malik r.a.
berkata, “Abu Dzarr r.a. menceritakan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda,
‘Dibukalah atap rumahku dan aku berada di Mekah. Turunlah Jibril a.s. dan
mengoperasi dadaku, kemudian dicucinya dengan air zamzam. Ia lalu membawa
mangkok besar dari emas, penuh dengan hikmah dan keimanan, lalu ditumpahkan ke
dalam dadaku, kemudian dikatupkannya. Ia memegang tanganku dan membawaku ke
langit dunia. Ketika aku tiba di langit dunia, berkatalah Jibril kepada penjaga
langit, ‘Bukalah.’ Penjaga langit itu bertanya, ‘Siapakah ini?’ Ia (jibril)
menjawab, ‘Ini Jibril.’ Penjaga langit itu bertanya, ‘Apakah Anda bersama
seseorang?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku bersama Muhammad saw.’ Penjaga langit itu
bertanya, ‘Apakah dia diutus?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Ketika penjaga langit itu
membuka, kami menaiki langit dunia. Tiba tiba ada seorang laki-laki duduk di
sebelah kanannya ada hitam-hitam (banyak orang) dan disebelah kirinya ada
hitam-hitam (banyak orang). Apabila ia memandang ke kanan, ia tertawa, dan
apabila ia berpaling ke kiri, ia menangis, lalu ia berkata, ‘Selamat datang
Nabi yang saleh dan anak laki-laki yang saleh.’ Aku bertanya kepada Jibril,
‘Siapakah orang ini?’ Ia menjawab, ‘Ini adalah Adam dan hitam-hitam yang di
kanan dan kirinya adalah adalah jiwa anak cucunya. Yang di sebelah kanan dari
mereka itu adalah penghuni surga dan hitam-hitam yang di sebelah kainya adalah
penghuni neraka.’ Apabila ia berpaling ke sebelah kanannya, ia tertawa, dan
apabila ia melihat ke sebelah kirinya, ia menangis, sampai Jibril menaikkan aku
ke langit yang ke dua, lalu dia berkata kepada penjaganya, ‘Bukalah.’
Berkatalah penjaga itu kepadanya seperti apa yang dikatakan oleh penjaga
pertama, lalu penjaga itu membukakannya.”
3.
Anas berkata, “Beliau
menyebutkan bahwasanya di beberapa langit itu beliau bertemu dengan Adam,
Idris, Musa, Isa, dan Ibrahim shalawatullahi alaihim, namun beliau tidak
menetapkan bagaimana kedudukan (posisi) mereka, hanya saja beliau tidak
menyebutkan bahwasanya beliau bertemu dengan Adam di langit dunia dan Ibrahim
di langit keenam.” Anas berkata, “Ketika Jibril a.s. bersama Nabi Muhammad saw
melewati Idris, Idris berkata, ‘Selamat datang Nabi yang saleh dan saudara
laki-laki yang saleh.’ Aku (Rasulullah) bertanya, ‘Siapakah ini?’ Jibril
menjawab, ‘Ini adalah Idris.’ Aku melewati Musa lalu ia berkata, ‘Selamat
datang Nabi yang saleh dan saudara yang saleh.’ Aku bertanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Ini adalah Musa.’ Aku lalu melewati Isa dan ia berkata,
‘Selamat datang saudara yang saleh dan Nabi yang saleh.’ Aku bertanya,
‘Siapakah ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Isa.’ Aku lalu melewati Ibrahim,
lalu ia berkata, ‘Selamat datang Nabi yang saleh dan anak yang saleh.’ Aku
bertanya,’Siapakah ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Ibrahim as..’” (HR.
Bukhari no. 192)
4.
Ibnu Syihab berkata,
“Ibnu Hazm memberitahukan kepadaku bahwa Ibnu Abbas dan Abu Habbah al-Anshari
berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, ‘Jibril lalu membawaku naik sampai
jelas bagiku Mustawa. Di sana, aku mendengar goresan pena-pena.’ Ibnu Hazm dan
Anas bin Malik berkata bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, ‘Allah Azza wa Jalla
lalu mewajibkan atas umatku lima puluh shalat (dalam sehari semalam). Aku lalu
kembali dengan membawa kewajiban itu hingga kulewati Musa, kemudian ia (Musa)
berkata kepadaku, ‘Apa yang diwajibkan Allah atas umatmu?’ Aku menjawab, ‘Dia
mewajibkan lima puluh kali shalat (dalam sehari semalam).’ Musa berkata,
‘Kembalilah kepada Tuhanmu karena umatmu tidak kuat atas yang demikian itu.’
Allah lalu memberi dispensasi (keringanan) kepadaku (dalam satu riwayat: Maka
aku kembali dan mengajukan usulan kepada Tuhanku), lalu Tuhan membebaskan
separonya. ‘Aku lalu kembali kepada Musa dan aku katakan, ‘Tuhan telah
membebaskan separonya.’ Musa berkata, ‘Kembalilah kepada Tuhanmu karena sesungguhnya
umatmu tidak kuat atas yang demikian itu. ‘Aku kembali kepada Tuhanku lagi,
lalu Dia membebaskan separonya lagi. Aku lalu kembali kepada Musa, kemudian ia
berkata, ‘Kembalilah kepada Tuhanmu karena umatmu tidak kuat atas yang demikian
itu.’ Aku kembali kepada Tuhan, kemudian Dia berfirman, ‘Shalat itu lima
(waktu) dan lima itu (nilainya) sama dengan lima puluh (kali), tidak ada firman
yang diganti di hadapan Ku.’ Aku lalu kembali kepada Musa, lalu ia berkata,
‘Kembalilah kepada Tuhanmu.’ Aku jawab, ‘(Sungguh) aku malu kepada Tuhanku.’
Jibril lalu pergi bersamaku sampai ke Sidratul Muntaha dan Sidratul Muntaha itu
tertutup oleh warna-warna yang aku tidak mengetahui apakah itu sebenarnya? Aku
lalu dimasukkan ke surga. Tiba-tiba di sana ada kail dari mutiara dan debunya
adalah kasturi.’”(HR. Bukhari no. 193, 194)
5.
Aisyah r.a. berkata,
“Allah Ta’ala memfardhukan shalat ketika difardhukan-Nya dua rakaat-dua rakaat,
baik di rumah maupun dalam perjalanan. Selanjutnya, dua rakaat itu ditetapkan
shalat dalam perjalanan dan shalat di rumah ditambah lagi (rakaatnya).” (Dalam
satu riwayat: Kemudian Nabi Muhammad saw. hijrah, lalu difardhukan shalat itu
menjadi empat rakaat dan dibiarkan shalat dalam bepergian sebagaimana semula,
4/267).(HR. Bukhari no. 195)
6.
Dari Anas bin Malik,
ia telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Aku didatangi mereka
(malaikat), kemudian mengajakku ke Sumur Zam Zam. Lalu dadaku dibedah, kemudian
dibasuh dengan Air Zam Zam. Lalu aku dikembalikan.” HR Muslim (162.2), Kitab
Iman, Bab Isra
7.
Hadis riwayat Anas bin
Malik ra., ia berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Aku didatangi Buraq.
Lalu aku menunggangnya sampai ke Baitulmakdis. Aku mengikatnya pada pintu
mesjid yang biasa digunakan mengikat tunggangan oleh para nabi. Kemudian aku masuk
ke mesjid dan mengerjakan salat dua rakaat. Setelah aku keluar, Jibril datang
membawa bejana berisi arak dan bejana berisi susu. Aku memilih susu, Jibril
berkata: Engkau telah memilih fitrah. Lalu Jibril membawaku naik ke langit.
Ketika Jibril minta dibukakan, ada yang bertanya: Siapakah engkau? Dijawab:
Jibril. Ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Ditanya:
Apakah ia telah diutus? Jawab Jibril: Ya, ia telah diutus. Lalu dibukakan bagi
kami. Aku bertemu dengan Adam. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Kemudian aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang
bertanya: Siapakah engkau? Jawab Jibril: Jibril. Ditanya lagi: Siapakah yang
bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jawabnya: Dia
telah diutus. Pintu pun dibuka untuk kami. Aku bertemu dengan Isa bin Maryam
as. dan Yahya bin Zakaria as. Mereka berdua menyambutku dan mendoakanku dengan
kebaikan. Aku dibawa naik ke langit ketiga. Jibril minta dibukakan. Ada yang
bertanya: Siapa engkau? Dijawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu?
Muhammad saw. jawabnya. Ditanyakan: Dia telah diutus? Dia telah diutus, jawab
Jibril. Pintu dibuka untuk kami. Aku bertemu Yusuf as. Ternyata ia telah
dikaruniai sebagian keindahan. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Aku dibawa naik ke langit keempat. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya:
Siapa ini? Jibril menjawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad,
jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah
diutus. Kami pun dibukakan. Ternyata di sana ada Nabi Idris as. Dia menyambutku
dan mendoakanku dengan kebaikan. Allah Taala berfirman Kami mengangkatnya pada
tempat (martabat) yang tinggi. Aku dibawa naik ke langit kelima. Jibril minta
dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa? Dijawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa
bersamamu? Dijawab: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Dijawab: Dia
telah diutus. Kami dibukakan. Di sana aku bertemu Nabi Harun as. Dia
menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keenam.
Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapa ini? Jawabnya: Jibril.
Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Muhammad, jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah
diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Kami dibukakan. Di sana ada Nabi Musa as.
Dia menyambut dan mendoakanku dengan kebaikan. Jibril membawaku naik ke langit
ketujuh. Jibril minta dibukakan. Lalu ada yang bertanya: Siapa ini? Jawabnya:
Jibril. Ditanya lagi: Siapa bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanyakan: Apakah
ia telah diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Kami dibukakan. Ternyata di sana
aku bertemu Nabi Ibrahim as. sedang menyandarkan punggungnya pada Baitulmakmur.
Ternyata setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat masuk ke Baitulmakmur dan
tidak kembali lagi ke sana. Kemudian aku dibawa pergi ke Sidratulmuntaha yang
dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika
atas perintah Allah, Sidratulmuntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka
suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu
melukiskan keindahannya. Lalu Allah memberikan wahyu kepadaku. Aku diwajibkan
salat lima puluh kali dalam sehari semalam. Tatkala turun dan bertemu Nabi saw.
Musa as., ia bertanya: Apa yang telah difardukan Tuhanmu kepada umatmu? Aku
menjawab: Salat lima puluh kali. Dia berkata: Kembalilah kepada Tuhanmu,
mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Aku pernah
mencobanya pada Bani Israel. Aku pun kembali kepada Tuhanku dan berkata: Wahai
Tuhanku, berilah keringanan atas umatku. Lalu Allah mengurangi lima salat
dariku. Aku kembali kepada Nabi Musa as. dan aku katakan: Allah telah
mengurangi lima waktu salat dariku. Dia berkata: Umatmu masih tidak sanggup
melaksanakan itu. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi. Tak
henti-hentinya aku bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa as. sampai Allah
berfirman: Hai Muhammad. Sesungguhnya kefarduannya adalah lima waktu salat
sehari semalam. Setiap salat mempunyai nilai sepuluh. Dengan demikian, lima
salat sama dengan lima puluh salat. Dan barang siapa yang berniat untuk
kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, maka dicatat satu kebaikan baginya.
Jika ia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya
barang siapa yang berniat jahat, tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak
sesuatu pun dicatat. Kalau ia jadi mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu
kejahatan. Aku turun hingga sampai kepada Nabi Musa as., lalu aku beritahukan
padanya. Dia masih saja berkata: Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah
keringanan. Aku menyahut: Aku telah bolak-balik kepada Tuhan, hingga aku merasa
malu kepada-Nya. (Shahih Muslim No.234)
8.
Hadis riwayat Malik
bin Sha`sha`ah ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda: Ketika aku sedang berada di
dekat Baitullah antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku mendengar ada yang
berkata: Salah satu dari tiga yang berada di antara dua orang. Lalu aku
didatangi dan dibawa pergi. Aku dibawakan bejana dari emas yang berisi air
Zamzam. Lalu dadaku dibedah hingga ini dan ini. Qatadah berkata: Aku bertanya:
Apa yang beliau maksud? Anas menjawab: Hingga ke bawah perutnya. Hatiku
dikeluarkan dan dicuci dengan air Zamzam, kemudian dikembalikan ke tempatnya
dan mengisinya dengan iman dan hikmah. Lalu aku didatangi binatang putih yang
disebut Buraq, lebih tinggi dari khimar dan kurang dari bighal, ia meletakkan
langkahnya pada pandangannya yang paling jauh. Aku ditunggangkan di atasnya.
Lalu kami berangkat hingga ke langit dunia. (Sampai di sana) Jibril minta
dibukakan. Dia ditanya: Siapa ini? Jibril menjawab Jibril. Ditanya lagi: Siapa
bersamamu? Muhammad saw. jawab Jibril. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Ya,
jawabnya. Malaikat penjaga itu membukakan kami dan berkata: Selamat datang
padanya. Sungguh, merupakan kedatangan yang baik. Lalu kami datang kepada Nabi
Adam as. (selanjutnya seperti kisah pada hadis di atas). Anas menjelaskan bahwa
Rasulullah bertemu dengan Nabi Isa as. dan Nabi Yahya as. di langit kedua, di
langit ketiga dengan Nabi Yusuf as. di langit keempat dengan Nabi Idris as. di
langit kelima dengan Nabi Harun as. Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda:
Kemudian kami berangkat lagi. Hingga tiba di langit keenam. Aku datang kepada
Nabi Musa as. dan mengucap salam kepadanya. Dia berkata: Selamat datang kepada
saudara dan nabi yang baik. Ketika aku meninggalkannya, ia menangis. Lalu ada
yang berseru: Mengapa engkau menangis? Nabi Musa menjawab: Tuhanku, orang muda
ini Engkau utus setelahku, tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak
daripada umatku. Kami melanjutkan perjalanan hingga langit ketujuh. Aku datang
kepada Nabi Ibrahim as. Dalam hadis ini dituturkan, Nabi saw. bercerita bahwa
beliau melihat empat sungai. Dari hilirnya, keluar dua sungai yang jelas dan
dua sungai yang samar. Aku (Rasulullah saw.) bertanya: Hai Jibril, sungai
apakah ini? Jibril menjawab: Dua sungai yang samar adalah dua sungai di surga,
sedangkan yang jelas adalah sungai Nil dan Furat. Selanjutnya aku diangkat ke
Baitulmakmur. Aku bertanya: Hai Jibril, apa ini? Jibril menjawab: Ini adalah
Baitulmakmur. Setiap hari, tujuh puluh ribu malaikat masuk ke dalamnya. Apabila
mereka keluar, tidak akan masuk kembali. Itu adalah akhir mereka masuk.
Kemudian aku ditawarkan dua bejana, yang satu berisi arak dan yang lain berisi
susu. Keduanya disodorkan kepadaku. Aku memilih susu. lalu dikatakan: Tepat!
Allah menghendaki engkau (berada pada fitrah, kebaikan dan keutamaan). Begitu
pula umatmu berada pada fitrah. Kemudian diwajibkan atasku salat lima puluh
kali tiap hari. Demikian kisah seterusnya sampai akhir hadis. (Shahih Muslim
No.238)
9.
Hadis riwayat Ibnu
Abbas ra., ia berkata: Rasulullah saw. menuturkan perjalanan Isra’nya. Beliau
bersabda: Nabi Musa as. berkulit sawo matang, tingginya seperti lelaki Syanu’ah
(nama kabilah). Beliau bersabda pula: Nabi Isa as. itu gempal, tingginya sedang.
Beliau juga menuturkan tentang Malik as. penjaga Jahanam dan Dajjal. (Shahih
Muslim No.239)
10.
Hadis riwayat Abu
Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda: Ketika aku diisra’kan, aku
bertemu dengan Nabi Musa as., ia seorang lelaki yang tinggi kurus dengan rambut
berombak, seperti seorang Bani Syanu’ah. Aku juga bertemu dengan Nabi Isa as.
ia berperawakan sedang, berkulit merah, seakan-akan baru keluar dari pemandian.
Aku bertemu dengan Nabi Ibrahim as. Akulah keturunannya yang paling mirip
dengannya. Lalu aku diberi dua bejana, yang satu berisi susu dan yang lain
berisi arak. Dikatakan padaku: Ambillah yang engkau suka. Aku mengambil susu
dan meminumnya. Kemudian dikatakan: Engkau diberi petunjuk dengan fitrah atau
engkau menepati fitrah. Seandainya engkau mengambil arak, niscaya sesat umatmu.
(Shahih Muslim No.245)
11.
Dari Ibnu Abbas, ia
telah berkata: Ketika Nabi SAW diisra`kan, beliau melewati seorang nabi dan
beberapa nabi, dan bersama mereka ada banyak orang. Dan seorang nabi dan
beberapa nabi, dan bersama mereka beberapa orang. Dan seorang nabi dan beberapa
nabi, dan bersama mereka tidak ada seorangpun sampai beliau melewati kelompok
yang besar. Aku berkata: “Siapa Ini?” Dijawablah (oleh Jibril): “Musa dan
kaumnya. Akan tetapi angkatlah kepalamu, kemudian lihatlah!” Kemudian ada
kelompok besar yang memenuhi ufuk dari sebelah sana dan dari sebelah sana. Lalu
dikatakan (oleh Jibril): “Mereka adalah umatmu dan yang lainnya adalah kelompok
dari umatmu yang berjumlah tujuh puluh ribu (70.000) orang yang akan masuk
surga tanpa hisab (perhitungan amal).” Kemudian beliau masuk (ke kamar beliau)
dan mereka (para sahabat) tidak menanyai beliau dan beliau tidak menerangkan
kepada mereka. Maka mereka berkata: “Kami adalah mereka itu tadi”. Dan ada pula
yang berkata: “Mereka adalah anak-anak kami yang lahir dalam fitrah dan Islam”.
Kemudian Nabi SAW keluar, lalu bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak
berobat dengan besi panas, tidak meruqyah, dan tidak pula bertakhayul
(tathayyur). Dan mereka bertawakal kepada Tuhan mereka.” Lantas Ukasyah bin
Mihshan berdiri lalu berkata: “Saya termasuk mereka wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Ya.” Kemudian yang lain lagi berdiri lalu berkata pula: “Saya
termasuk mereka?” Beliau menjawab: “Kamu telah didahului oleh Ukasyah (dalam
bertanya demikian).” HR at-Tirmidzi (2446). Beliau berkata: “Ini adalah hadits
hasan shahih”.
12.
Anas berkata: Telah
bersabda Rasulullah SAW: “Tidaklah aku melewati sekelompok malaikat pada malam
aku diisra`kan kecuali mereka berkata: Wahai Muhammad, suruhlah umatmu
berbekam.” HR Ibnu Majah (3479), Kitab Pengobatan, Bab Bekam.
13.
Dari Ibnu ‘Abbas,
bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: “Tidaklah aku melewati sekelompok
malaikat pada malam aku diisra`kan kecuali tiap mereka berkata kepadaku: Wajib
bagimu wahai Muhammad untuk berbekam.” HR Ibnu Majah (3477), Kitab Pengobatan,
Bab Bekam.
14.
Dari Ibnu Mas’ud, ia
telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Aku bertemu Ibrahim pada malam
aku diisra’kan. Iapun bertanya: “Wahai Muhammad, suruhlah umatmu mengucapkan
salam kepadaku, dan kabarkanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya surga subur
tanahnya, manis airnya, dan terhampar luas. Dan bahwasanya tanamannya adalah
(ucapan dzikir) Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar.”
HR at-Tirmidzi (3462), Kitab Doa-Doa dari Rasulullah, Bab Dalil tentang
Keutamaan Tasbih, Takbir, Tahlil, dan Tahmid. Beliau berkata: Ini adalah hadits
hasan gharib dari sisi ini dari hadits Ibnu Mas’ud
15.
Dari Abu Hurairah, ia
telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW : “….. Dan sungguh telah
diperlihatkan kepadaku jama’ah para nabi. Adapun Musa, dia sedang berdiri
shalat. Dia lelaki tinggi kekar seakan-akan dia termasuk suku Sanu’ah. Dan ada
pula ‘Isa bin Maryam alaihi`ssalam sedang berdiri shalat. Manusia yang paling
mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Ada pula Ibrahim
‘alaihi`ssalam sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah
sahabat kalian ini, yakni beliau sendiri. Kemudian diserukanlah shalat. Lantas
aku mengimami mereka. Seusai shalat, ada yang berkata (Jibril): “Wahai
Muhammad, ini adalah Malik, penjaga neraka. Berilah salam kepadanya!” Akupun
menoleh kepadanya, namun dia mendahuluiku memberi salam. HR Muslim (172).
16.
Dari Anas bin Malik,
bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: “Pada malam aku diisra’kan aku
melewati Musa di gundukan tanah merah ketika dia sedang shalat di dalam
kuburnya.” HR Muslim (2375), Kitab Keutamaan-Keutamaan, Bab Sebagian Keutamaan
Musa.
17.
Dari Abu al-’Aliyah:
Telah mengisahi kami sepupu Nabi kalian, yaitu Ibnu ‘Abbas radhiya`llahu
‘anhuma, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda: “Pada malam aku diisra’kan aku
telah melihat Musa, seorang lelaki berkulit sawo matang, tinggi kekar,
seakan-akan dia adalah lelaki Suku Syanu’ah. Dan aku telah melihat ‘Isa,
seorang lelaki bertinggi sedang, berambut lurus. Dan aku juga telah melihat
Malaikat Penjaga Neraka dan Dajjal” termasuk ayat yang telah diperlihatkan
Allah kepada beliau. {maka janganlah kamu
ragu tentang pertemuan dengannya (yaitu Musa) (as-Sajdah, 32: 23)}.
18.
Dari Anas dan Abu
Bakrah, dari Nabi SAW: “Malaikat-malaikat kota Madinah berjaga-jaga dari
Dajjal.” HR al-Bukhari (3239), Kitab Permulaaan Penciptaan, Bab Penyebutan
Malaikat.
19.
Abu Hurairah telah
berkata: Pada malam beliau diisra`kan, disodorkan kepada Rasulullah SAW dua
gelas minuman: khamr (minuman keras) dan susu. Beliaupun melihat keduanya, lalu
mengambil susu. Jibril berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki
engkau kepada fitrah. Seandainya engkau mengambil khamr, niscaya binasalah
umatmu.” HR al-Bukhari (4709), Kitab Tafsir al-Qur’an, Bab Firmannya {yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram
(al-Isra’, 17: 1)}.
20.
Dari Abu Hurairah, ia
telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Ketika aku diisra`kan, aku
bertemu Musa. Dia berkata: Kemudian beliau menyifatkannya. Dia adalah lelaki,
aku mengira beliau bersabda: Kurus, agak tinggi. Rambutnya ikal, seakan-akan
dari suku Syanu’ah. Beliau bersabda: Dan aku bertemu ‘Isa. Dia berkata:
Kemudian beliau menyifatkannya. Beliau bersabda: Tingginya sedang, berkulit
kemerahan, seperti baru keluar dari Dimas, yaitu pemandian. Dan aku telah
melihat Ibrahim. Beliau bersabda: Dan aku adalah keturunannya yang paling mirip
dengannya. Beliau bersabda: Dan disodorkan kepadaku dua gelas minuman. Salah
satunya susu, dan yang lain khamr. Kemudian dikatakan kepadaku: Ambillah yang
mana dari keduanya yang engkau kehendaki! Akupun mengambil susu, kemudian
meminumnya. Lalu dikatakan kepadaku: “Engkau telah ditunjuki kepada fitrah”
atau “Engkau telah menepati fitrah. Adapun sungguh seandainya engkau mengambil
khamr, niscaya binasalah umatmu.” HR at-Tirmidzi (3130), Kitab Tafsir al-Qur`an
dari Rasulullah, Bab Dan Dari Surah Bani Isra`il. Beliau berkata: “Ini adalah
hadits hasan shahih.”
Kajian Fiqih: Mengkombinasikan Niat
Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/
Banyak pertanyaan seputar menggabung ibadah, misalnya puasa membayar hutang (qadla) Ramadhan digabungkan dengan puasa Syawah enam hari. Sahkah ibadah seperti itu?
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
Kreiteria Pertama: meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan tidak boleh dimasukkan dalam ibadah tersebut, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya, ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi, apalagi kalau ditujukan untuk tujuan syirik. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudlu atau mandi namun dengan menertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu dan mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghozali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
Kriteria Kedua: meniatkan satu ibadah dengan ibadah lain. Ini ada beberapa bentuk, pertama: menggabung ibadah fardlu dengan fardlu lain. Ini tidak sah kecuali beberapa masalah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib. Contoh lain adalah mandi sambil menyelam dengan niat wudlu juga. Adapun menggabung sholat dhuhur dan ashar dalam satu amalan hukumnya tidak sah.
Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.
Ada juga contoh yang sah fardlunya, seperti orang haji berniat fardlu dan wajib, padahal dia belum pernah haji maka yang jadi wajibnya.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.
Madzhab Hanafi mengatakan boleh menggabung dua niat dalam satu ibadah, apabila ibadah itu masuk ibadah perantara seperti mandi. Adapun dalam ibadah yang substansi maka menggabung dua fardlu tidak boleh, seperti sholat empat waktu dengan niat dhuhur dan ashar.
Manggabung Qadla Ramadhan dan Sunnah Syawal
Permasalahan menggabung dua niyat dalam ssatu ibadah juga berlaku bagi mereka yang ingin melakukan puasa qadla Ramadhan sambil melakukan sunnah Syawal. Apakah puasanya sah?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan jadi puasa qadla dan puasa syawalnya tidak sah. Ada yang mengatakan yang sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia.
Namun demikian Imam Ramli salah seorang ulama besar madzhab Syafii berfatwa ketika ditanyai tentang seseroang yang qadla Ramadhan di bulan Syawal sambil niat puasa enam hari bulan Syawal apakah sah? Beliau menjawab, gugur baginya hutang puasa dan kalau dia berniat juga sunnah syawal maka baginya pahala puasa sunnah tersebut. Imam Ramli mengatakan bahwa itu pendapat beberapa ulama kontemporer.
Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal. Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. (Kalau terlambat terkena denda fidyah). Kalau merasa kurang mampu juga, maka baru bisa melirik pendapat imam Ramli tadi. Wallahu a'lam bissowab.
Disusun: Ustadz Muhammad Niam, LLM
Dari berbagai sumber.
<html> <head><script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-5026633091698896" crossorigin="anonymous"></script></head></html>
Banyak pertanyaan seputar menggabung ibadah, misalnya puasa membayar hutang (qadla) Ramadhan digabungkan dengan puasa Syawah enam hari. Sahkah ibadah seperti itu?
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
Kreiteria Pertama: meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan tidak boleh dimasukkan dalam ibadah tersebut, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya, ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi, apalagi kalau ditujukan untuk tujuan syirik. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudlu atau mandi namun dengan menertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu dan mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghozali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
Kriteria Kedua: meniatkan satu ibadah dengan ibadah lain. Ini ada beberapa bentuk, pertama: menggabung ibadah fardlu dengan fardlu lain. Ini tidak sah kecuali beberapa masalah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib. Contoh lain adalah mandi sambil menyelam dengan niat wudlu juga. Adapun menggabung sholat dhuhur dan ashar dalam satu amalan hukumnya tidak sah.
Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.
Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.
Ada juga contoh yang sah fardlunya, seperti orang haji berniat fardlu dan wajib, padahal dia belum pernah haji maka yang jadi wajibnya.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.
Madzhab Hanafi mengatakan boleh menggabung dua niat dalam satu ibadah, apabila ibadah itu masuk ibadah perantara seperti mandi. Adapun dalam ibadah yang substansi maka menggabung dua fardlu tidak boleh, seperti sholat empat waktu dengan niat dhuhur dan ashar.
Manggabung Qadla Ramadhan dan Sunnah Syawal
Permasalahan menggabung dua niyat dalam ssatu ibadah juga berlaku bagi mereka yang ingin melakukan puasa qadla Ramadhan sambil melakukan sunnah Syawal. Apakah puasanya sah?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan jadi puasa qadla dan puasa syawalnya tidak sah. Ada yang mengatakan yang sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia.
Namun demikian Imam Ramli salah seorang ulama besar madzhab Syafii berfatwa ketika ditanyai tentang seseroang yang qadla Ramadhan di bulan Syawal sambil niat puasa enam hari bulan Syawal apakah sah? Beliau menjawab, gugur baginya hutang puasa dan kalau dia berniat juga sunnah syawal maka baginya pahala puasa sunnah tersebut. Imam Ramli mengatakan bahwa itu pendapat beberapa ulama kontemporer.
Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal. Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. (Kalau terlambat terkena denda fidyah). Kalau merasa kurang mampu juga, maka baru bisa melirik pendapat imam Ramli tadi. Wallahu a'lam bissowab.
Disusun: Ustadz Muhammad Niam, LLM
Dari berbagai sumber.
Dari berbagai sumber.
<html>
<head>
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-5026633091698896"
crossorigin="anonymous"></script>
</head>
</html>
How to do Religious Tolerance and Religious Dialogue in Indonesia
by Machasin
Introduction
Tolerance is the capability of living with something
(including other’s attitude and situation) that you do not like. You do
not like it because it is different of what you are accustomed to, not
in accordance with values you hold or tradition you have been raised in.
Sometime you have to live with such kind of thing in order that you may
prevent of having graver difficulties or that you understand the cause
making another doing what you do not like and consider it as something
natural in his/her situation.
For example, when I was writing this paper, a neighbor who
lived right in front of my room had his motorcycle uproar that I lost my
concentration and had to stop writing for a while. Actually, using my
own value that anyone has the right of a quiet surrounding—something
that my neighbor may not be aware of—, I could go reprimand him for what
he was doing. However, might forget my right and let him do what he was
doing with the risk of not finishing my paper in due time. Here I
tolerated him.
In a pluralistic society like, the readiness to tolerate
attitude, behavior and condition that are "uncommon" constitutes an
important capital for living harmonious life, or even a must. Without
tolerance, conflict will occur at any time making self-development
hindered. However, giving to much tolerance is no less dangerous. It may
accumulate dissatisfaction to the point of unbearability that may cause
a greater irruption.
Besides, tolerance is actually a provisory partials step to
do with living together. One cannot tolerate everyday, except very few
people. One may tolerate in a longer time than the others do, but there
is always limit that one cannot go beyond. In addition, it is often that
the one whom you tolerate of doing such and such thing is not aware
that you tolerate him. This means that tolerance has no effect
whatsoever in the development of the society. Therefore, there should be
a second step, which is dialogue to make a mutual understanding on
which harmonious living together may be built. Through dialogue we may
understand other’s situation, aspiration, belief, values, problems etc.
that cased him/her do things that disturbed us. In the above-mentioned
example, for instance, dialogue may make me understand my neighbor made
up roaring noise with his motorcycle. Perhaps he did it to blur the
noisy quarrel happening in his house or to clean the muffler his
motorcycle from oil deposit, and then I will consider his doing as
acceptable.
The problem is, then, how we do tolerance when then the
action, attitude or situation is religious. Isn’t it true that religion
is a sensitive thing and that many people risk their life for it? There
are also people who think that there should be no tolerance in matters
of religion, since it is only a sign of weak faith. Dialogue, also, is
considered by many as sign of a weak faith. In addition, dialogue will
contaminate faith.
Tolerance
It is not easy to fix the limit by which human liberty and
limitation should end. Laws, rules and norms may indeed limit human
liberty, but at the same time they assure its application or better give
fair space for individuals to exert their liberty. Without them there
will be the law of "survival of the fittest". Or, some members of the
community or human race may be privileging more liberty, whereas others
have only narrow space to roam in, or even some powerful individuals
take over the scene giving no room for others. Management of liberty
will only assure free space for every member of the community, as long
as it is based on deliberation of every member or at the majority.
The awareness that it is the right of every individual
person to be free in living whatever he/she believes to be the best for
his being human constitutes principal basis on which religious tolerance
can be built. In other words, first one has to hold the principle that
there should be no compulsion in practicing religion.[1] However,
liberty has to be limited by a second principle, i.e. that it must be
applied in such a way that a liberty of one individual may not cause
another one loss his/hers. This is not an easy thing, since sometimes we
find inter-waving thing between two or more religious group: the one
believes in goodness of an action, while others have the opposite.
Take for example, many mosques use loudspeakers in their rituals such as call for prayer (adhān)
and Qur’an recital. Such a custom may disturb others. Muslims often
think that it is only natural to let people be aware of the time for
prayer but they do not realize that the loud adhān may deprive many from
quietness they are in need of. Another example is that for the majority
of Muslims Muhammad is the Seal of the prophecy and there comes no
prophet after him, but for the Ahmadiyya the founder, Mirza Ghulam Ahmad
was a Prophet, though he does his mission within the tradition of
Islam. For the majority of the Christians, Jesus is Divine Saver, while
for Muslims he was one of the Prophets. For the majority of people of
Nahdlatul Ulama’, visiting saint tombs is considered pilgrimage, while
for those of Muhammadiyah it is a heresy prohibited by religion.
It is natural that one has faith and
belief, and others may not raise any objection when he/she hold them as
self conviction without any action to exert them in public domain or to
force others to have hold them. Objection can only be made at time the
expression of faith or belief will harm him/her, such as suicide, or
people related to him/her. For instance, when a religious group believe
the apocalypse will happen in very short time and for anticipation they
throw away every thing they possess and meditate all the time. What
should be done in facing such a situation? Can we interfere? Do they
have right to do what is dictated by their belief?
Here, of course, we should bear in mind “universal” values
and basic human rights. In Islamic tradition, the theologian-jurists
formulated what is called the objectives of the [religious?] legislation
(maqāsid al-shari’a) that consist of maintaining five things, namely: life (nafs), belief (dīn), consciousness (‘aql), dignity (‘ird), possession (māl)
and offspring (nasl). Tolerance, therefore, may be given to anything
that is not in contradiction with the maintenance of these five things.
We may add to them principles that are very important in assuring good
life for humankind, such as maintaining the environment and public
space, which were overlook by the formulators of religious teachings.
Thus, when we find a religious act or an
act based on religious belief that may harm the actor or other human
being, we should not tolerate it. However, this does not mean that
anyone can raise objection or to express aversion to the actor, since it
may cause conflict. To let the responsibilities for the security (police,
head of village etc.) the situation and ask them to take needed measures
are the most peaceful way, although they may not be effective. Anyhow,
developing better and more effective consultative institutions of
members of the community, from neighborhood association to parliament,
is very important to build a strong, responsible community. Likewise is
opening dialogue with the actor.
Any rule concerning how freedom of observing religious
obligations that may transgress boundaries of public space or other’s
liberty has to be made in the frame of tradition of the community
concerned. We should be sensitive enough of things that may cause
inconvenience for others who sometimes do not know how to express
understandably what they feel. We should develop self-censorship in
order that we be able to avoid playing with other’s sensibility.
It is important to remind again that tolerance constitute a
provisional action and it must be followed by dialog, education, peace
campaign and so forth, that there will not be accumulation of
inconveniences that can erupt when it overload the capacity of bearing
it.
Dialogue
Dialogue that is in essence a form of two directional
communications is very much needed in the building of relationship
between individuals and groups of pluralistic society. It is a fact that
human being is formed by social and cultural environment in which
he/she grows, including images and narratives of others. These images
and narratives, like human being, develop and change within their own
territory without—in most cases—any reference to the people(s)
concerned. For example, certain ethnic group is described as barbaric by
another group, whereas in fact there are many polite, humane
individuals who belong to them. There are also, sometimes, narratives
about things that influence the way a certain group of people behave,
and many of them come from religious tradition.
Besides, the fast and massive development of material life
triggered by findings and innovations of science and technology has been
causing many peoples frightened or worried about their life. Some feel
threatened by changes of situations that make their identity, security,
happiness, the structure of their social and cultural life etc.
unsecured. In such a situation, it is only natural that many of
groups—religious, ethnic etc.—cannot behave their proper behavior and
express their accumulated dissatisfaction and fears in form of
“unpredicted” actions. Prejudices of any thing that they are not
familiar with comes out very easily from people feel threatened by
something, especially when they do not know its reality.
Thus, dialogue is very much needed for erasing or at least
minimizing images, false narrative and prejudices about others, all
which hinder people of different traditions and cultures from natural
interaction. Dialogue can be done formally through discussion and talk
in an occasion arranged especially for it, but also informally through
—for example— chatting, living in the same neighborhood and interaction
in work place.
How do we do dialogue? First we can remember the way we eat
hot porridge. We cannot begin by taking that is in the middle of the
plate, but we should begin from outer part that is less hot. Then we go
to the middle, not only that time is reducing the heat, but also that
our mouth gets accustomed to the heat. Thus, dialogue has to be begun
from the less sensitive matters, in order to make the participants
accustomed to it. It is only then--when they are ready to talk about
themselves and about others in a polite way and with cool emotion--that
dialogue can proceed to reach sensitive things.
Sometime people are very much worried about being
influenced by partners of dialogue. They often forget that in many cases
dialogue will only strengthen the faith they hold by being aware of
others’ argumentation or experience. Action of taking and giving is only
natural in interaction between different people and it enriches more
than destroys the faith they have. What we need most in dialogue is
firmness, brevity, good will and readiness to listen and to response.
Besides, the principal aim to which religious dialogue should be
directed is to know better our neighbors, our co-inhabitants of the same
place, and to let us known to them, in order that we all may live
together in a pleasant surrounding.
We may add other objectives of dialogue like sharing of
religious experiences, getting better understanding of one’s own faith
through encounter with others and solidifying it through other’s
critiques. Anyhow, there should not be any thinking about proselytizing
people through dialogue, since it will only break the construction of
the society.
Conclusion
The development of our world gives no room for any group of
people to live separately from others. Communities develop into plural
society in which live people of different backgrounds, religious,
cultural etc. The only option we have in such a situation is to live
together. This means that no single individual may be left or neglected
in assuring the existence of any society, since dissatisfaction of one
member may affect life condition of the whole. The use of power and
compulsion will only tear off the society. It will cause resentment and
hatred that make earth not pleasurable to live in.
Religion should be present as blessing for humankind, since
it gives guidance for life and ideal to which it should be directed.
Therefore, we should keep our religious emotion right and maintain
religion in such away that it does not turn into threat and curse for
human being. (Machasin)
Sumber: http://balitbangdiklat.kemenag.go.id
No comments:
Post a Comment
Terimakasih....